Kehidupan masyarakat Suku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat kian terdesak.
Tak hanya tanah dan
hutan tempat mereka tinggal menyusut luasnya. Tapi, budaya mereka kian tergerus
perkembangan zaman. Tak banyak generasi muda Suku Dayak yang memahami bahasa daerah,
budaya, serta adat-istiadat mereka sendiri. Anak-anak Suku Dayak gagap
menghadapi arus globalisasi yang serba cepat di daerah tempat tinggal mereka.
Belajar tentang tanaman obat tradisional dari ahlinya |
Sekolah yang
kini berusia 10 tahun didirikan oleh F. Deliana Winki dan Plorentina Dessy Elma
Thyana yang berdarah Dayak tulen. Jumlah murid mereka sejak sekolah dibangun
sekitar 350 anak. Kini, ada sekitar 168 anak yang belajar bersama di sekolah
ini.
Sekolah Adat
Arus Kualan adalah wadah untuk anak-anak muda Suku Dayak untuk mempelajari
berbagai pengetahuan adat, lingkungan dan budaya yang diturunkan oleh leluhur
mereka. Sekolah yang berlangsung setiap hari Jumat hingga Minggu ini diikuti
antusias oleh anak-anak berbagai usia.
Bagi para pengajar seperti Deli dan murid-muridnya, semua bisa menjadi guru dan alam raya adalah
sekolah mereka. Mereka tak terkungkung oleh batas-batas tembok yang disebut
ruangan kelas. Di sekolah ini, semua orang sama derajatnya. Tak ada yang lebih
tinggi, guru sekalipun.
Di Sekolah Adat Arus Kuantan, anak-anak Dayak belajar banyak hal tentang adat-istiadat dan budayanya. Mereka belajar pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang diturunkan masyarakat Dayak dari generasi ke generasi.
Mendengarkan kisah-kisah para tetua sebagai pembelajaran hidup |
Menyenangkan sekali mendengar apa saja yang anak-anak pelajari di sekolah ini. Semuanya pengetahuan praktis yang bermanfaat untuk menjalankan kehidupan mereka sehari-hari dan selaras dengan alam. Pelajaran mereka diantaranya belajar tentang tanaman obat tradisional, belajar memasak dengan bahan dasar bambu, memainkan permainan tradisional hingga belajar tentang berbagai tanaman di hutan.
Aku jadi teringat cerita Mas Hanif Wicaksono, seorang aktivis yang giat mempelajari dan mendokumentasikan tanaman langka di Kalimantan. Ia prihatin karena masyarakat desa tempatnya tinggal tak banyak yang mengetahui tentang jenis pepohonan dan buah-buahan langka yang banyak terdapat di hutan dekat kampung mereka. Sedih kan? Dengan adanya materi belajar tentang tanaman khas Kalimantan di sekolah adat, tak ada lagi cerita masyarakat desa buta akan keunikan hutannya sendiri. Mereka sudah mempelajari berbagai tanaman di sekolah adat.
Tak hanya itu,
anak-anak murid juga sering diajak berkunjung ke para sesepuh di kampung mereka
untuk mendengar kisah-kisah dan belajar banyak hal dari mereka.
Para pengajar di
sekolah ini menekankan identitas yang kuat pada anak muda Dayak dan bagaimana
mereka hidup sebagai orang Dayak di era modern. Bagaimana agar anak-anak muda
Dayak tidak terbawa arus globalisasi dan tetap memiliki identitas kuat serta
cepat beradaptasi dengan segala perubahan yang ada.
Sekolah ini ikut
berperan dalam melestarikan budaya leluhur, tak hanya dengan mengajarkannya
kepada para siswa tapi juga mendokumentasikan berbagai pengetahuan dan local
widom yang biasanya diturunkan secara lisan oleh leluhur, dibuat dalam bentuk
tulisan, penelitian dan film dokumenter. Mereka mendokumentasikan berbagai hal
melalui teknologi digital diantaranya media sosial.
Belajar membuat perhiasan manik-manik khas Kalimantan |
Hal positif
lainnya, anak-anak sekolah adat berani mengungkapkan pendapatnya dengan berbicara
di depan umum. Mereka berani mempresentasikan dan memperkenalkan kebudayaan dan
adat-istiadat Dayak di berbagai kegiatan dengan audiens yang besar.
Oh iya, sekolah
ini tak hanya mengajarkan berbagai pelajaran tentang local wisdom. Anak-anak
juga belajar membaca, menulis dan berhitung. Mereka juga belajar bahasa asing
dan komputer. Jadi, mereka tetap mengikuti perkembangan zaman.
Salah satu murid
cemerlang di sana adalah Elis. Anak perempuan berusia 14 tahun ini tertarik
mendalami ilmu pengobatan tradisional dan bercita-cita menjadi tabib kelak.
Elis juga fasih berbahasa Inggris dan menjadi penerjemah saat tamu-tamu dari
luar negeri mengunjungi sekolah mereka. Keren, ya!
Masuk hutan untuk belajar aneka tumbuhan |
Tak hanya itu, anak-anak Sekolah Adat juga berusaha melestarikan seni musik tradisional khas Dayak yaitu Sape’. Melalui sape’ dan musik Dayak yang unik dan khas mereka menyampaikan pesan-pesan positif. Mereka menyampaikan keresahan mereka tentang deforestasi hutan dan hilangnya hak-hak masyarakat adat pada dunia.
Tahu kan, masyarakat
lebih mudah menangkap pesan apabila dibawakan dengan seni? Ya, inilah yang
dilakukan anak-anak Sekolah Adat Arus Kuantan. Sepak-terjang sekolah ini menarik
perhatian banyak pihak.
Salah satunya panitia Konferensi Biodiversitas Dunia di Kolombia November tahun ini. Deli yang punya nama lengkap F. Deliana Winki diundang untuk mewakili Indonesia ke kancah internasional untuk menyampaikan pendapatnya tentang perubahan iklim dan keanekaragaman hayati di Indonesia. Luar biasa, bukan? Deli berangkat ke Kolombia bersama lima anak muda hebat lainnya.
Sepak terjang pengurus Sekolah Adat Arus Kuantan ini menarik perhatian dari PT. Astra International, Tbk. Tahun 2023, Sekolah Adat Arus Kuantan meraih Satu Indonesia Awards Kategori Kelompok All Bidang. Sekolah ini menjadi inspirasi untuk mendirikan sekolah yang tak hanya mementingkan bidang akademik saja tapi juga mengenalkan pendidikan karakter dan rasa cinta pada Tuhan, alam dan lingkungan sekitar mereka.
Sumber Foto: IG Arus Kuantan