“Mama..Mama di mana?” bisik sosok
anak bertubuh kurus meringkuk di pojok halaman.
“Mama di sini, Nak!” Mama
memeluknya.
Kengerian terpancar dari raut
anak itu mendengar teriakan kasar di kejauhan.
“Sst..kalian sembunyi di sini.
Jangan ke mana-mana,” bisik tetangganya.
Anak kecil itu pasrah ketika sosok
itu menarik jemarinya masuk rumah.
Entah berapa lama, Eklin dan
mamanya meringkuk di loteng rumah tetangganya. Ketika akhirnya pengacau itu meninggalkan
kampung, barulah mereka keluar persembunyian dan dikerumuni warga yang prihatin.
“Tenang, kalian su aman. Kami
akan selalu melindungi kalian,” bisik tetangga yang rumahnya di belakang mereka.
“Sudah jangan takut, Tante.
Kalian aman di sini.” bisik seorang gadis berkerudung.
“Terima kasih, kalian baik sekali.” bisik Mama penuh syukur.
**
Peristiwa itu sudah berlalu
puluhan tahun silam.
Kejadiannya sekitar tahun
1999-2002. Saat peristiwa itu terjadi, Eklin berusia 7 tahun. Ia ingat betul
peristiwa mencekam saat kerusuhan Ambon. Eklin kecil harus mengungsi bersama
keluarga meninggalkan kampungnya di Masohi, Maluku Tengah.
Baca Juga: Sekolah Adat Arus Kuantan di Kalbar
Konflik itu telah merenggut nyawa
ribuan orang tak berdosa. Ya, dua puluh empat tahun telah berlalu, Tapi, peristiwa
itu tetap membuat tubuhnya meremang.
Ya, hal itu bukan saja terjadi
pada dia dan keluarganya. Tapi, pada banyak orang lain di lingkungannya.
Trauma Tersisa dari Kerusuhan Ambon
Kala nyawa berada di ujung tanduk,
Tuhan mengirimkan banyak malaikat pelindung. Malaikat itu berwujud
tetangga-tetangga yang beragama Islam.
Ketika peristiwa berdarah itu
terjadi, Eklin dan keluarga dilindungi saudara-saudaranya, para tetangga.
“Entah apa yang terjadi padaku
dan keluarga, kalau tak ada para tetangga,” kenang Eklin.
Ya, ribuan penyintas konflik
Ambon terpaksa merasakan trauma selama puluhan tahun karena peristiwa itu.
Trauma yang membekas walaupun kini situasi sudah aman sentosa.
Baca Juga: Pejuang Pendidikan dari Palu
Kekeluargaan antar beragama itu
nyata. Eklin selalu teringat betapa orang-orang di kampungnya dulu saling
bergotong-royong dan saling menjaga, bahkan dengan keluarga yang beragama
berbeda. Termasuk keluarga Eklin yang asli Ambon dan beragama Kristen
Protestan.
Meredakan Ketegangan Bertahun-tahun
Puluhan tahun berlalu, konflik
telah usai. Tapi, masa lalu kelam itu masih menimbulkan segregasi wilayah di
daerahnya. Masih ada praktik pemisahan kelompok berdasarkan agama dan ras di
deerah mereka. Masalah kecil saja rentan menimbulkan gesekan.
Hal itu terjadi karena kisah
turun-temurun para orangtua yang mengalami kepahitan saat konflik, lalu
bercerita pada keturunannya. Cerita masa lalu itu rentan menimbulkan prasangka
yang bisa memercikkan konflik serupa di masa kini.
Baca Juga: Mengungkai Buta Huruf dari Suku Anak Dalam Jambi
Fenomena ini yang membuat Eklin
Amtor De Fretes, resah berkepanjangan. Ia menyayangkan segregasi yang
terjadi di masa kini masih terjadi akibat konflik 22 tahun silam. Saat
bersekolah hingga kuliah, Eklin banyak berteman dengan orang-orang yang berbeda
agama. Stigma buruk yang kerap ia dengar tentang orang yang berbeda agama pun
luntur.
Saat itu, ia kuliah di jurusan
Teologi, Universitas Kristen Indonesia di Ambon. Tahun 2016, Eklin mendapat
kesempatan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Asosiasi Living Value
Education di Jakarta. Ia menjadi trainer nasional
untuk metode pendidikan yang menghidupkan nilai.
Setelah pelatihan selesai, ia
kembali ke Ambon untuk menerapkan ilmunya. Ia berusaha mengadaptasi pelatihan
yang ia dapatkan dengan nilai-nilai yang ada di daerahnya. Ia menyusun metode
bagaimana melakukan penyembuhan diri terhadap trauma masa lalu berkaitan dengan
kerusuhan Maluku.
Ia dan teman-temannya
berinisiatif mendirikan Youth Interfaith Peace Camp di tanah
kelahirannya pada tahun 2017. Komunitasnya beranggotakan para pemuda yang
berasal dari berbagai agama dan kepercayaan, serta latar belakang
berbeda. Komunitas ini didirikan sebagai tempat berbagi nilai dan menyebarkan
perdamaian di Ambon. Para anggota komunitas bahkan mengadakan acara menginap di
Desa Latuhalat yang mayoritas penduduknya Kristen, juga di Desa Tulehu yang
penduduknya memeluk Islam.
Belajar Mendongeng untuk Mengisahkan Perdamaian
Ia prihatin dengan kebiasaan
orang tua yang menceritakan kisah masa lalu yang kelam pada anak-anaknya. Ya,
betul, jangan melupakan sejarah. Tapi, kisah-kisah dari mulut ke mulut ini
rentan terhadap prasangka dan salah paham.
Biasanya, mereka hanya bercerita
dari satu sisi saja dan akibatnya anak-anak mudah melabeli pihak lain dengan
sebutan yang buruk. Sayang sekali, perdamaian yang sudah dibangun susah-payah
runtuh begitu saja karena prasangka buruk dan curiga tak beralasan.
Ia lalu teringat sosok inspiratif yang ia temui saat kecil. Bapak-bapak tetangga yang suka bercerita tentang perdamaian padanya dan teman-teman lainnya. Eklin lalu mendapat ide cemerlang, bagaimana jika ia belajar mendongeng dan membagikan kisah-kisah perdamaian pada anak-anak?
Ia pun mulai belajar mendongeng secara otodidak dari Youtube. Dengan saksama,
ia menonton bagaimana pendongeng beraksi di atas panggung. Ia belajar metode
ventrilokuist yaitu seni berbicara tanpa menggerakkan bibir.
Ketika ia sudah merasa mulai
mampu mendongeng, ia membeli boneka yang ia beri nama Dodi akronim dari Dongeng
Damai. Bersama Dodi, ia merasa jadi lebih percaya diri untuk tampil di muka
umum. Setelah belajar dua minggu, ia pun mantap mendongeng berkeliling Maluku.
Mencicipi Kegagalan
Eklin memulai misinya pada Bulan
Januari 2018. Ia selalu didampingi oleh tim relawan Merawat Jalan Perdamaian
(MJP). Pulau pertama yang didatanginya adalah sebuah desa di Pulau Seram yang
dihuni satu suku penganut keyakinan lokal. Keinginannya untuk mendongeng di
sana, ditolak mentah-mentah oleh para tetua. Latar belakangnya sebagai calon
pendeta membuatnya dicurigai akan melakukan Kristenisasi di desa itu. Eklin
mengalah, lalu bergerak ke tempat lain.
Ia tak menyerah. Eklin berkeliling
ke daerah-daerah rawan konflik seperti Desa Saleman dan Desa Horale di Pulau
Seram dan diterima dengan antusias oleh masyarakat desa. Kedua desa ini tempat
terjadinya konflik dan sudah lama hidup terpisah.
Melanglang Karena Dongeng
Langkah berikutnya mulai berbuah
manis. Eklin kerap mendapat fasilitas seperti disediakan tempat oleh pihak
polisi dan tentara. Ia telah mendongeng di ratusan tempat di Maluku, di depan
ribuan anak-anak yang menyambutnya antusias.
Ia selalu menyisipkan pesan perdamaian dan kemanusiaan dalam setiap dongeng yang ia bawakan bersama Dodi.
Anak-anak selalu antusias menyaksikan penampilan mereka berdua. Pengalaman
berkesan selama Dongeng Damai ia abadikan dalam buku berjudul Mari
Belajar Mendongeng Kisah-Kisah Damai. Belasan dongeng buatannya sendiri
terangkum dalam buku sederhana itu.
Pada tahun 2020, Eklin telah
menjadi pendeta. Namun, langkahnya untuk Dongeng Damai tak terhenti. Ia tetap
mendongeng tentang perdamaian, bahkan di atas mimbar gereja. Tak disangka, di
tahun yang sama ia juga diganjar penghargaan Satu Indonesia Award bidang
Pendidikan dari PT. Astra International, Tbk. Eklin bersyukur dukungan Astra
untuk gerakannya sangat memudahkan langkah kecilnya dalam membuat perubahan.
Harapan Eklin, agar dongeng bisa
tetap hidup dan menjadi media pendidikan yang menghidupkan nilai dan merawat
perdamaian di Maluku.
Terbayang kengerian dan trauma yang dialami oleh Eklin dan juga warga terdampak akibat dari konflik menahun.
ReplyDeleteSalut sekali, cara Eklin bangkit tidak tanggung malahan ia memikirkan orang banyak serta menciptakan inovasi melalui dongeng damai. Misi nya sangat mulia dan sangat pantas mendapatkan apresiasi.
Aku pernah ikutin berita ttg konflik Ambon ini. Dan ngeriii dulu. Sedihnya melihat orang yg ga berdosa jadi korban.
ReplyDeleteBersyukur sekarang Ambon sudah pulih, walaupun luka yg kemarin masih membekas ya mba. Salut dengan mas eklin yg berusaha utk menjaga perdamaian Ambon melalui dongeng kepada anak2 di sana. Semoga saja cerita itu bisa membekas dan membuat mereka sadar pentingnya menjaga perdamaian dan tidak mudah masuk dlm jebakan adu domba oknum lain
Dongeng Damai.
ReplyDeleteSebuah gerakan yang amat positif dan layak mendapatkan apresiasi.
karena memang konflik horizontal itu harus dipadamkan, dengan cara2 yg baik , mendidik dan manusiawi yah.
salut banget dgn kiprah Eklin
Angkat topi buat Eklin yang berhasil mendirikan Youth Interfaith Peace Camp dan berbuat nyata demi anak-anak. Dia contoh orang yang mengelola rasa trauma menjadi satu gerakan positif demi sekitarnya. Harapannya jelas dia gak mau kejadian buruk yang dulu ia alami terulang kembali dan "menularkan" trauma yang sama seperti yang dia rasakan dulu.
ReplyDeleteKeinget zaman TK aku paling suka ketika guru sudah mendongeng. Zaman belum ada gadget dan tayangan TV terbatas. Tapi walaupun tayangan TV dan gagdet mudah diakses anak-anak dengerin orang bercerita secara langsung tuh beda! apalagi bawa properti boneka kayak gitu. Sukses selalu Eklin dan teman-teman Youth Interfaith Peace Camp
Hebat sekali Eklin dË Fretes. Bisa mendongeng untuk menghibur, mendamaikan, plus menghilangkan trauma pada ex survivor kerusuhan Ambon. Semoga makin banyak anak muda yg peduli seperti dia.
ReplyDeleteTrauma masa kecil telah menjadikan eklin menjadi seorang yang ingin selalu menebar kedaiaman agar anak2 dan orang lain tidak lagi merasakan kerusuhan yang pernah eklin alami.
ReplyDeleteTapi beneran sering miris juga sie kenapa ya bangsa kita ini mudah banget tersulut emosinya, padahal kan memang bangsa kita ini terdiri dari berbagai etnis ras dan agama, alangkah lebih baik jika kita bisa bersatu untuk memajukan negara...semoga kedepannya negara kita lebih aman damai santosa
Langkah yang diambil Eklin sangat baik dan tepat menurutku, dengan pengalaman masa kecil itu membawa dia sejauh ini, mendongeng memang alat baik untuk membentuk bingkai logika pada anak.
ReplyDeleteDimana belum banyak orang tua paham kalau apa yang diceritakan akan membawa dia ke langkah selanjutnya.
Thanks to Astra sudah memberi Eklin atas apa yang sudah dilakukannya. Semoga ASTRA dan anak-anak bangsa makin terus menjadi tiang negara dengan melakukan hal terbaik.
Raut wajah anak-anak itu serius sekali ya mendengarkan dongeng dari Eklin. Pemandangan yang sudah jarang terlihat di masa sekarang. Salut deh dengan Eklin yang mendedikasikan dirinya untuk perdamaian dengan cara yang unik, lewat kegiatan mendongeng...
ReplyDeleteMemungkinkan untuk susah ya melupakan memori kelam kejadian kesusahan itu di masa kecil. Namun ketegaran dan cepat move on nya Eklin bisa membawa ssmangat baru
ReplyDeleteInspiratif
ReplyDeleteAda anak muda yang peduli seperti ini
Dongeng bisa jadi media untuk menyebarkan perdamaian ya mbak
Pantas mendapatkan apresiasi dari Astra
keren banget Eklin, semoga lahir eklin-eklin lainnya yang akan membawa damai dan menceritakan perdamaian melalui dongengnya termasuk di mimbar gerejanya, karena ia adalah seorang pendeta, semoga kerusuhan-kerusuhan yang banyak merugikan banyak orang ini sudah tidak terjadi lagi karena akan meninggalkan trauma bagi anak-anak di sekitarnya akibat kerusuhan tersebut, dan setiap orang tidak terprovokasi oleh apapun dan menghadapi apapun dengan tenang. Keren Eklin dengan mendapatkan penghargaan semoga semakin banyak lagi kegiatan dongengnya yang menyebarkan perdamaian untuk seluruh umat
ReplyDeleteSedih si ngikutin berita konflik ambon ini. Begitu tak berharganya nyawa ketika konflik terjadi, dan pada akhirnya banyak pihak yang merugi. Syukurlah, sekarang sudah banyak perubahan ya.. meski trauma tentu masih ada. Tapi jangan sampai benih-benih kebencian itu diwariskan ke anak cucu.
ReplyDeleteSenang melihat perjuangan mas Eklin, mengupayakan perdamaian lewat kemampuannya. Apalagi dongeng pake suara perut begonoh.. syuliiit lhoh
Salut ya dengan perjuangannya Kak Eklin buat merangkul anak-anak, kebayang pasca trauma kerusuhan di Ambon menyisakan kenangan buruk bagi masyarakat sekitarnya. Meski pernah dapat penolakan, dengan Dongeng Damainya tak menyurutkan niat Eklin untuk membuat anak-anak lebih ceria. Pantas saja dapat penghargaan dari Astra. Inspiratif sih sosoknya
ReplyDeleteterharu sama perjuangan Eklin waktu masuk ke Pulau Seram, awalnya mengalami penolakan dan akhirnya berakhir bisa diterima warga setempat
ReplyDeleteaku lupa lupa inget sama kasus kerusuhan Maluku ini, pas baca ini jadi keinget lagi, sedih liat berita dulu, kasihan anak-anak di zaman itu pasti mengalami trauma mendalam
dengan mendongeng, harapannya bisa mengobati trauma anak dan menghibur,, keren banget usaha Eklin
Menciptakan perdamaian melalui dongeng, suatu langkah yang keren sih menurutku. Dan memang, bercerita pada anak itu nggak bisa dari satu sisi, harus dari dua sisi biar nggak jadi salah paham. Btw, aku jadi teringat konflik Ambon, semoga ke depannya nggak ada konflik lagi dan kita semua hidup damai.
ReplyDeleteKeren sangat ih. Anak muda yang begini nih yang dibutuhkan Indonesia. Produktif dengan cara apa saja. Salah satunya ya Eklin yang mendongeng untuk menciptakan perdamaian. Di masa kayak sekarang ini, di mana internet begitu mudah diakses siapa saja, hoax yang memecah belah bangsa begitu banyak, hal adem yang mempersatukan kayak yang dilakukan Eklin, sangat dibutuhkan. Gak heran jika Eklin diganjar penghargaan. Semoga menginspirasi banyak anak muda yang lainnya.
ReplyDeletePerjuangan yang sangat luar biasa sekali. Berawal Dari trauma bisa menjadi motivasi menyebarkan kedamaian. Meski langkah kecil dengan mendongeng, tapi hasilnya kuat biasa dalam
ReplyDeleteAkutu suka merasa bahwa kita akan merasakan dan benar-benar menerapkan toleransi bila berada di luar Jawa. Dimana masyakatnya lebih beragam. Memang Indonesia yang sangat luas ini, kalau gak dibekali dengan sikap toleransi yang tinggi, pastinya hidup akan terus saling menyakiti.
ReplyDeleteMeski Eklin Amtor De Fretes juga mengalami trauma yang sama, namun ia terus memberikan apa yang ia mampu untuk menyembuhkan luka batin anak-anak.
Bukan hanya penghiburan semata, namun juga memberikan kekuatan dan mengembalikan mimpi anak-anak Maluku.
Baca ini tentang konflik di Ambon, saya jadi ingat novelku yg tidak jadi-jadi di mana latar cerita adalah tentang konflik antar suku. Baru juga bab 8, sudah banyak yg komentari kalau cerita adalah berlatar konflik di Ambon, duh ngeri deh kalau ingat itu.
ReplyDeleteNamun, apa pun itu saya salut sama Eklin yg mendamaikan orang daerah melalui dongeng.