Rebani tertunduk lesu. Tangannya menggenggam beberapa lembar rupiah lusuh.
Hasil panen tahun ini sangat
sedikit karena cuaca tak menentu. Masih pula ia tertipu para tengkulak
tempatnya menjual hasil panennya. Karena para tengkulak paham, masyarakat Suku
Anak Dalam banyak yang tak bisa baca tulis, mereka dibayar rendah jauh dari
harga pasar.
**
Bak jatuh tertimpa tangga, itulah
nasib Rebani dan masyarakat Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi dan Sumatera
Selatan.
Mereka teperdaya. Terusir dari
tanah kelahiran mereka.
Kisah pilu masyarakat Suku Anak Dalam ini sudah beredar luas. Kabar mengenaskan ini diketahui pula oleh Reny Ayu Wulandari, mahasiswi Universitas Jambi. Tapi, ia merasa
tak ada yang bisa dilakukannya. Memangnya ia bisa apa?
Reny termasuk anak yang punya tekad kuat.
Ia bercita-cita ingin menjadi sarjana pertama di keluarganya. Anak bungsu dari
enam bersaudara ingin jadi orang sukses dan membanggakan kedua orangtuanya.
Reny sibuk dengan berbagai kegiatan di kampus dan tak terlalu peduli dengan
isu-isu penting di sekitarnya.
Memahami Masyarakat Rimba
Pikirannya mulai terbuka saat mengerjakan tugas akhir di tahun 2016. Topik skripsinya adalah media pembelajaran dari permainan tradisional. Ia ingin mempraktikkan media yang dibuatnya dengan anak-anak rimba. Bersama gurunya Ustaz Hatta, ia mengunjungi Suku Anak Dalam untuk praktik sekaligus memberikan donasi buku dan baju untuk anak-anak.
Baca Juga: Daerah Rawan Narkoba Jadi Kampung Literasi
Tak disangka, ia jatuh hati pada masyarakat
rimba. Hatinya tersentuh dengan kepolosan dan kejujuran mereka. Ia mulai memahami
betapa kompleks permasalahan mereka. Beberapa keluarga meninggalkan hutan yang
makin berkurang sumber dayanya, untuk tinggal di desa. Sayangnya, mereka
ditolak warga desa.
Saat ini, ada sekitar 200 ribu
orang masyarakat rimba di Jambi. Mereka hidup sederhana dan tergantung pada
alam yang mulai rusak.
Apa yang bisa seorang anak
kuliahan lakukan?
Untuk tahu kebutuhan mereka, Reny
dan sahabatnya Mira mengunjungi lokasi tempat tinggal Suku Anak Dalam di Muara
Medak. Bukan hal gampang karena masyarakat rimba tinggal di hutan belantara.
Rute menuju ke sana tidaklah mudah. Jalan tanah yang licin dan berdebu, membuat
mereka harus memakai masker tebal. Jika hujan, jalanan akan menjadi kubangan
lumpur yang bisa membuat pengendara motor terpental. Jatuh di jalanan adalah
hal biasa bagi para pelaju.
Perjalanan belum berakhir. Mereka
harus menaiki perahu motor menyeberangi Sungai Gelam selama tiga jam lamanya untuk
tiba di Hutan Muara Medak, Kabupaten Muaro Jambi.
Sesampainya di sana, Reny dan Mira
disambut raut curiga para penduduk. Mereka takut peristiwa menyakitkan terulang
lagi. Melihat kondisi mereka secara langsung, menyadarkan Reny bahwa yang
dibutuhkan para masyarakat suku agar tak lagi tertipu, adalah mereka harus bisa
membaca, menulis, dan berhitung.
Reny dan Mira Rizki, alumni
Pertambangan Universitas Sriwijaya lalu mendirikan SEAD atau Sobat Eksplorasi
Anak Dalam pada Maret 2017. SEAD berkomitmen membantu masyarakat rimba di
bidang pendidikan dan sosial. Keduanya ingin SEAD menjadi wadah bagi anak muda
Jambi yang ingin berkontribusi untuk kemajuan masyarakat rimba.
Saat itu, anggotanya hanya mereka
berdua. Reny sangsi, adakah yang sudi bergabung di SEAD? Lokasi tempat tinggal
masyarakat rimba terpencil dan tidak mudah dijangkau. Siapa yang mau
bersusah-payah menempuh jarak panjang ke sana tanpa dibayar?
Masyarakat Suku Anak Dalam
termasuk suku yang susah menerima budaya luar. Bersekolah, bagi mereka adalah
budaya luar. Adat istiadat mereka melarang mengenal aksara, membaca dan
menulis. Jika ada yang ketahuan melanggar aturan, pelaku akan dihukum denda
berlembar-lembar kain.
Mulailah petualangan Reny dan
Mira mengajar di hutan. Setiap akhir pekan, mereka berboncengan mengendarai motor.
Perjalanan dilanjutkan naik perahu bermotor. Karena jarak tempuh yang lama,
Reny dan Mira hanya bisa mengajar anak-anak selama satu dua jam saja. Terlambat
sedikit, mereka bakal kemalaman di jalan dan hal itu yang tak ingin ia alami
lagi sampai kapan pun. Bayangkan, berkendara berdua saja di jalanan yang buruk
dan gelap. Pengalaman yang mendirikan bulu kuduk.
Berbulan-bulan mengajar, lelah fisik
dan mental mulai dirasakan Reny.
Keluarga Memalangi
Kegiatannya menjadi relawan tak
selalu berjalan mulus. Beberapa kali pulang malam, membuat orangtuanya
khawatir. Ibunya lalu melarang Reny menjadi relawan.
Tapi, panggilan jiwanya adalah
mengajar. Ia menengkar keinginan ibunya.
Baca Juga: Pedro Akhirnya Suka Membaca
Reny mencoba berdiskusi dengan keluarga.
Meyakinkan keluarga bahwa ini impiannya. Memang tidak mudah, apalagi Reny
menyongsong bahaya untuk mengajar di hutan. Orangtua dan kakak-kakaknya was-was
akan keselamatannya.
Reny selalu menceritakan semua
yang ia lakukan di hutan. Juga perkembangan anak-anak yang diajarnya. Bagaimana
mereka mulai mengenal huruf dan angka. Tanpa ada yang disembunyikan. Ibunya sungguh
terharu, dan akhirnya selalu menjadi donatur kegiatan putrinya. Tapi bagi Reny,
restu dan doa ibunya adalah donasi utama
dalam menjalani kegiatannya.
Bermukim di Hutan Belantara
Keinginan untuk tinggal bersama
Suku Anak Dalam pun menguat. Apalagi, setelah ia lulus kuliah. Ia merasa proses
belajar anak-anak akan lebih lancar jika mengajar setiap hari. Bukan setiap
minggu seperti sebelumnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, saat itu
ada program CSR Pertamina Hulu Energi di Muara Medak.
Baca Juga: Bu Diana Mengajar di Pedalaman Papua
Reny mendapatkan kesempatan untuk
live in melalui Program Jambi Merang Mengajar. Keputusan Reny disambut gembira
oleh warga. Mereka membuatkan Reny sebuah pondok sederhana di tepi Sungai
Pejudian di hutan. Pondok mungil itu terbuat dari potongan papan dan dilapisi
kain terpal tebal. Reny juga dibekali peralatan dapur oleh ibu-ibu seperti
piring dan gelas. Gestur sederhana yang membuatnya terharu.
Tok, tok..
Napasnya tercekat. Ia terduduk
kaku di kasurnya.
Tok..tok..
“Bu guru, ini kami. Bu guru tidak
takut kan?” beberapa suara memanggilnya dari balik pintu. Suara-suara yang
akrab dikenalinya.
Reny menghela napas lega.
“Sebentar..”
Ketika ia membuka pintu, sekitar
lima belas anak lelaki dan perempuan tersenyum menatapnya. Obor-obor yang
mereka bawa menerangi suasana. Reny nyaris menangis saking leganya.
“Ibu guru takut, ya?”
Reny menggeleng. Matanya
berkaca-kaca.
“Lho, ibu kenapa menangis?”
Suaranya tercekat. “Terima kasih
ya kalian sudah datang..”
Malam itu, semuanya terjaga.
Sepanjang malam, anak-anak menemani Reny yang sendirian di pondok. Mereka
duduk-duduk di depan pondok sambil menyalakan api unggun. Bercerita tentang
banyak hal. Bercanda dan tertawa, sesekali menepuk nyamuk-nyamuk nakal yang
merajalela.
Malam itu, Reny banyak belajar tentang kehidupan mereka. Suku Anak Dalam begitu mencintai hutan dan alam. Aturan utama mereka, tidak boleh buang air besar di sungai karena sungai adalah sumber kehidupan. Malam itu, ikatan batin yang kuat mulai terjalin antara Reny dan anak-anak Suku Anak Dalam.
Mengejar Ilmu Beratapkan Langit
Awalnya, ia mengajar anak-anak di
rumah kepala suku yang disapa Tumenggung. Hanya saja, anak-anak lebih suka
belajar di tempat terbuka. Mereka pun mencari tempat lapang di tepi sungai lalu
menggelar terpal. Mereka belajar di bawah langit biru dengan peralatan
seadanya. Reny menggunting tulisan huruf
dan angka lalu menggantungnya di pohon.
“Coba cari tulisan ular!”
Dengan semangat, anak-anak berebutan
memanjat pohon untuk mengambil kertas bertuliskan ular. Siapa yang paling
banyak mengambil kata yang benar dialah juaranya.
Baca Juga: Trisno dan Desa Menari
Terkadang, anak-anak belajar di
sungai. Reny menempelkan kertas berisi nama binatang di bilah bambu di sungai
dan mereka harus berenang mencarinya. Anak-anak beradu cepat dengan gembira. Ia
selalu berusaha agar anak-anak bisa belajar sambil bermain.
SEAD, Panutan Anak Muda Jambi
Murid-murid kian bertambah.
Beberapa anak murid Reny bahkan bisa mengikuti ujian paket untuk mendapatkan
ijazah setingkat SD.
SEAD pun makin berkembang. Tak
disangka, banyak anak muda Jambi peduli atas kelangsungan hidup masyarakat
pedalaman. Mereka hanya tak tahu bagaimana caranya membantu. Mereka tergerak untuk
bergabung dengan SEAD. Relawan SEAD pun bertambah dari hanya berdua, hingga jadi
ratusan orang relawan yang rata-rata mahasiswa. Mereka mengajar di Desa Muara
Medak bergantian.
Dukungan pun berdatangan.
Termasuk dari CSR Pertamina, mereka mendirikan Sekolah Apung yang dibangun di
atas deretan drum di sungai. Anak-anak pun bisa belajar lebih nyaman.
Wilayah binaan SEAD pun bertambah.
Selain Muara Medak, mereka juga mengajar di Desa Skaladi, Desa Batin 24
Kotaboyo, hingga Desa Pompa Air yang juga terpencil dan curam medannya.
Tapi, kegiatan mereka kini tak hanya
mengajar baca tulis, tapi juga menyalurkan donasi untuk warga, memberikan
bantuan pangan, melakukan pemeriksaan kesehatan dan pemberian vitamin untuk
warga, hingga memberdayakan masyarakat SAD dengan membuat gelang Sebelik Sumpah
khas suku mereka dan menjualnya di Kota Jambi.
Tak terlukiskan betapa
bersyukurnya Reny, kegiatan yang diawali dua mahasiswi ini berkembang menjadi
kegiatan di beberapa titik dengan ratusan relawan yang tulus membantu
masyarakat rimba di tempat terpencil.
Reny selalu mengingatkan
teman-teman relawan SEAD untuk meluruskan niat mereka karena menjadi relawan
adalah pekerjaan yang tidak ringan. Menjadi relawan membutuhkan ketulusan dan
cinta, serta tak ada bayarannya selain kebahagiaan saat membantu orang lain.
Selain aktif mengelola SEAD, bidang
akademik pun tak dilupakan Reny. Ia berhasil kuliah S2 di Amsterdam, Belanda
dengan beasiswa LPDP dari Pemerintah RI sambil terus membantu pengelolaan SEAD
dari daratan Eropa.
Merengkuh Satu Indonesia Award
Sepak terjang SEAD mendapat
perhatian dari Astra. Tak disangka, pada tahun 2020 kegiatan mereka terpilih
sebagai penerima Satu Indonesia Award tingkat provinsi kategori kelompok
reguler.
Perjalanan Reny dan SEAD masih
panjang. Ia dan teman-temannya masih terus berjuang mengentaskan buta huruf masyarakat
Suku Anak Dalam. Kandidat Doktor di Universitas Wageningen Belanda ini
memiliki harapan besar untuk kemajuan pendidikan anak-anak rimba.
Menurutnya, anak-anak rimba memiliki kesempatan sama untuk meraih impian seperti anak Indonesia lainnya. Kini, anak-anak rimba sudah memiliki cita-cita dan impian luhur untuk masa depan. Tugas kita semua adalah membantu mereka mewujudkannya.
Mengungkai: Membebaskan