Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah

Berikan hatimu kepada anak Papua. Mereka akan memberikan kepadamu hatinya.


“Selamat pagi anak-anak, kalian su siap belajar?”

Perempuan berambut ikal dari Timor Leste itu menyapa anak muridnya di depan sebuah bangunan reyot. Segerombolan anak bersemangat melangkahkan kaki lebar-lebar di genangan air setinggi betis agar segera sampai di kelas. Bangunan sederhana itu berdiri di tanah rawa yang selalu dipenuhi air payau. Tidak ada jalan lain, kaki-kaki tegap itu akan selalu bersimbah air rawa.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Bu Diana mendampingi muridnya di kelas yang baru diperbaiki

Guru cantik yang disapa Bu Diana memasuki ruangan kecil yang plafon dan dindingnya bolong sana-sini. Hanya ada beberapa kursi dan meja kayu reyot di dalam ruangan. Semua kegiatan belajar diadakan di lantai karena meja dan kursinya sudah bobrok.

Sa’ takut kaki mejanya patah, Ibu,” kata seorang anak ketika Diana memintanya menulis di atas meja.

Mendengar jawaban polos itu, Diana hanya bisa tersenyum pahit. Sekolah ini menampung puluhan anak-anak di tiga kelas yang reyot. Karena terbatasnya pendidik, tiga kelas kerap digabung menjadi satu saat kegiatan belajar berlangsung. 

Baca Juga: Dari Daerah Narkoba jadi Kampung Literasi 

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Cinta mengajar membuatnya tak menyerah di tengah keterbatasan

Belajar dalam kondisi serba terbatas ini tidak menyurutkan semangat Diana Cristiana Da Costa seorang guru muda dari program Guru Penggerak Daerah Terpencil untuk mendidik murid-muridnya. Ia bersama dua rekannya dengan gagah berani berkomitmen untuk mengajar di Kabupaten Mappi, daerah rawa- rawa yang kaya dengan ikan betik.

Kali pertama Diana mengajar, ia nyaris menangis. Bagaimana tidak? Sarjana Pendidikan itu menemui kenyataan banyak muridnya yang belum bisa membaca dan menulis. Padahal, diantara mereka ada beberapa anak kelas enam. Bagaimana masa depan mereka? Pikirnya saat itu.

Anak-anak ini bahkan asing dengan lagu Indonesia Raya, lambang negara Pancasila, dan bendera negaranya sendiri. Sejak itu, Diana bertekad untuk mengajar anak-anak Papua agar lebih banyak tahu.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Serius belajar

Impian Mengajar di Pedalaman Papua

Perempuan kelahiran Dili, 28 tahun silam ini berdarah campuran Timor Leste dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat referendum Timor Timur, ia dan ibunya memilih menjadi warga negara Republik Indonesia. Sedangkan ayahnya memutuskan menjadi warga negara Timor Leste. Ia dan ibunya lalu tinggal di Atambua, NTT. Keluarga mereka tercerai-berai dan hanya bertemu di perbatasan kedua negara untuk melepas rindu.

Baca Juga: Pergulatan Reny Mengungkai Buta Huruf 

Kecintaan Diana pada Republik Indonesia membuat perempuan penuh senyum ini memilih masuk jurusan Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Nusa Cendana di Kupang, NTT. Sudah lama ia memimpikan untuk menjadi seorang pengajar di Papua. Ia terpesona mendengar cerita kakak tingkatnya yang pernah mengajar di Raja Ampat. Sejak itu, pikirannya selalu mengembara pada Tanah Papua.

Bagaimana caranya agar ia bisa mengajar di sana? Ia selalu bertanya-tanya.

Jalan itu terbuka lebar ketika Diana membaca pengumuman di dinding kampus tentang program Guru Penggerak di Kabupaten Mappi yang diprakarsai Bupati Mappi Kristosimus Yohanes Agawemu. Program yang dibuka tahun 2017 ini bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, Yogya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Akhirnya, doa-doa Diana terjawab. Ia menemukan jalan untuk mengajar di pedalaman Papua. Dari ribuan pendaftar, Diana berhasil lolos dan berangkat ke Papua Selatan. Ia ditempatkan di Kampung Atti, Distrik Minyamur di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Belajar berhitung 

Walaupun sudah menduga sebelumnya, tak ayal Diana terkaget-kaget menyaksikan betapa terpencil tempatnya akan mengabdi. Sembilan puluh persen wilayah Kampung Atti harus menggunakan transportasi air yaitu perahu ketinting. Kedua kaki yang kuat untuk berjalan kaki adalah modal penting bertahan hidup di alam sekeras Papua Selatan. Diana dan kedua rekannya Fransiska Erlyansi Bere dan Oktafianus Halla yang ditempatkan di sekolah yang sama, berusaha menguatkan tekad untuk mengajar anak-anak Kampung Atti.

Kampung Atti tidak memiliki pasar tradisional dan warung. Sejauh mata memandang, hanya ada rawa-rawa dan hutan belantara. Untuk kebutuhan sehari-hari, sebelum berangkat ke Kampung Atti, Diana dan teman-temannya berbelanja persediaan bahan pangan untuk enam bulan.

Untuk tiba di Kampung Atti, ia dan teman-temannya harus melakukan perjalanan panjang penuh tantangan bak Son Goku mencari Dragon Ball. Bagaimana tidak? Dari Merauke, mereka menuju ke Kepi, Kabupaten Mappi di Papua Selatan. Dari Mappi, mereka menuju Pelabuhan Agham lewat darat sekitar 1 jam. Dari Pelabuhan, mereka naik perahu ketinting menuju Kampung Khaumi di Distrik Minyamur selama empat jam menyusuri sungai kecil pada musim kemarau. Pada musim hujan, waktu tempuh bisa dipangkas menjadi dua jam.

Apakah mereka sudah sampai? Masih jauh, Kaka! 

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Serius menyimak penjelasan Ibu Diana

Sesampainya di Khaumi, rombongan guru penggerak berpencar menuju lokasi pengabdiannya masing-masing. Seperti Diana dan teman-temannya, harus berjalan kaki selama dua jam menyusuri hutan belantara agar bisa tiba di Kampung Atti tempatnya mengajar. Seramnya lagi, selama dua jam berjalan kaki itu tak ada satu pun rumah yang dilaluinya.

Yang ada hanyalah hutan belantara dan kesunyian mencekam mengitari sekeliling mereka. Sepanjang jalan, ketiganya terus-menerus memanjatkan doa-doa agar diberi keselamatan dan dilindungi dari gangguan binatang buas. Keberadaan ular dan buaya tidaklah langka di daerah pedalaman seperti Kampung Atti.

Mereka akan mengajar di sekolah dasar satu-satunya di Kampung Atti. Sekolah ini sudah lama ditinggal pendidik dan kepala sekolah yang menetap di daerah lain. Masalah krusial Kabupaten Mappi di Papua Selatan adalah kekurangan tenaga pengajar. Anak-anak pun sudah berbulan-bulan putus sekolah.

Kita Mulai dari Nol, Ya!

Sekolah dasar di Kampung Atti begitu lama terbengkalai sehingga anak-anak pun bekerja di hutan mengikuti orangtuanya mencari makan. Diana dan kedua rekannya, memutuskan untuk fokus mengajar anak-anak Kampung Atti belajar membaca, menulis dan berhitung dari dasar.  Ia tidak menggunakan kurikulum pengajaran dari pemerintah.

Kurikulum pemerintah susah diterapkan di pedalaman dengan keterbatasan fasilitas. Terlalu sulit bagi anak muridnya yang membaca pun masih terbata-bata. Diana dan rekan-rekannya memutuskan menggunakan metode belajar kontekstual. Ia menyesuaikan pelajaran dengan kehidupan dan tingkat pemahaman anak-anak di pedalaman. Memulai segalanya dari nol. Seperti kata petugas pom bensin.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Tiga guru penggerak yang tangguh mengayomi SDN Atti

Targetnya tidak muluk-muluk. Ia ingin anak-anak bisa lancar calistung. Membaca, menulis dan berhitung sederhana. Ketiga kemampuan ini akan menjadi bekal berharga mereka untuk bisa lebih maju.

Keuletan Diana membuahkan hasil, perlahan anak-anak yang tadinya tak bisa membaca, kini mulai bisa membaca, menulis dan berhitung. Diana juga menyisipkan pengetahuan tentang nasionalisme pada anak-anak. Tentang Pancasila, Bendera Merah Putih, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Ayo mandi yang bersih

Sepulang sekolah, Diana kerap mengajak anak-anak main air di kolam dekat sekolah dan memberi mereka sabun cair untuk mandi. Mereka asyik bermain, tapi sebenarnya Diana tengah mengajarkan tentang kebersihan badan pada anak-anak.

Seperti kata Shinchan, seluruh (sekolah) adalah tempat bermain yang asyik!

Kesungguhan Anak-anak Didiknya

Suatu hari, Diana keheranan memergoki tiga orang anak didiknya mengganti baju seragamnya di belakang sekolah. Mengapa tidak memakai baju dari rumah? Jawaban polos anak-anak itu membuatnya berkaca-kaca.

Sa takut, sa pu baju kotor, Ibu.”

Anak bertubuh tinggi dan tegap itu bernama San Piter. Ia bercerita kalau mereka baru saja mengarungi hutan belantara. Kaget bukan kepalang Diana mendengarnya. Selama setahun mengajar, Diana tak mengetahui kalau ketiga kakak-beradik itu tinggal di dalam hutan. Diana menyangka, mereka tinggal di Kampung Atti. Ada sekitar 200-an kepala keluarga yang tinggal di kampung ini. Tapi, banyak anak yang tidak sekolah.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah
Diana bersama murid-muridnya

Kehidupan masyarakat Atti masih dalam fase meramu. Hutan belantara adalah tempat satu-satunya para keluarga di Kampung Atti mencari makan. Mereka tidak bercocok tanam di kebun atau ladang. Tak ada pasar tradisional atau warung untuk membeli bahan makanan. Tak ada sistem barter.

Hutanlah tumpuan harapan mereka. Di sana mereka mencari sagu, memancing ikan di sungai, berburu babi, dan binatang lainnya. Karena itulah, kebanyakan warga tinggal di hutan. Jika tinggal di perkampungan, mereka tak bisa makan. Itulah sebabnya, San Piter selalu berangkat dari hutan setiap hari. Sepulang sekolah, ia akan membantu orangtuanya mencari makan di hutan.

Jarak hutan tempat tinggal mereka puluhan kilometer jaraknya dari sekolah. Tak terbayangkan oleh Diana, besarnya pengorbanan anak-anak itu berjalan kaki setiap hari demi bisa bersekolah.  Ia tak tahu persis berapa kilometer yang mereka tempuh setiap hari. Namun menurut rekannya, naik perahu ketinting saja akan menghabiskan tiga liter bensin saking jauhnya jarak hutan dari sekolah. Jarak berpuluh kilometer jauhnya rela ditempuh ketiga anak itu dengan bertelanjang kaki.

Pagi buta, sebelum fajar menyingsing, San Piter berangkat bersama adik-adiknya ke sekolah. Menyusuri rimba tanpa penerangan apa pun, tentu saja bermacam rintangan menghadang.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Anak pedalaman Papua juga bisa sukses

Ketiga anak itu menyusuri hutan rimba dengan hati-hati. Jangan sampai tersandung akar pohon, atau membangunkan seekor ular raksasa di pohon berusia ratusan tahun. Karena harus berenang menyeberangi sungai, anak-anak tidak memakai seragam sekolah. Mereka menyimpan seragamnya masing-masing di sebuah kantong. Barulah ketika tiba di sekolah, mereka mengganti baju biasa dengan seragam.

Terjawab sudah mengapa, anak-anak itu selalu menitipkan buku-buku mereka pada Diana. Mereka khawatir buku-buku mereka basah. Tak mengapa baju basah, asal buku-buku mereka tetap kering dan bisa dibaca.

Diana sangat salut pada perjuangan ketiga anak itu. Ia juga terharu karena orangtua San Piter sangat mendukung anak-anaknya pergi sekolah setiap hari.

Ya, tak sedikit orangtua yang melarang anaknya bersekolah karena dianggap buang waktu. Waktu mereka lebih baik digunakan untuk membantu orangtua mencari makan. Tapi kini banyak yang sudah terbuka pikirannya dan mengizinkan anak-anak sekolah. Bahkan ada yang menetap di perkampungan agar anak mereka tidak kelelahan berjalan kaki ke sekolah.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua

Para orangtua bersyukur dengan keberadaan para guru di Kampung Atti. Bahkan anak-anak kecil di kampung ini pun sudah bisa membaca. Mereka kerap membawakan Diana dan rekan-rekannya bahan makanan yang mereka dapatkan di hutan seperti ubi, ulat sagu, daun singkong, hingga daging ular dan buaya.

Setiap hari, murid-murid bergantian menimba air dari sumur untuk para guru. Saat libur sekolah adalah waktunya para guru pulang kampung. Kepergian mereka diantarkan puluhan murid dan orangtuanya saat akan menaiki perahu ketinting di dermaga. Disertai pesan-pesan agar para guru tak lupa jalan pulang kembali ke Atti. Perhatian kecil seperti ini sangat berarti bagi Diana.

Terbanglah Tinggi, Anak-anakku!

Anak-anak sangat tertarik pada buku cerita bergambar. Mereka paling suka dibacakan cerita dan melihat-lihat gambarnya. Sayangnya, buku-buku yang tersedia di sekolah sangat terbatas.

Diana pun berinisiatif untuk menggalang bantuan di media sosial. Ia tak menerima bantuan uang tapi berupa pakaian bekas layak pakai, buku, alat tulis dan peralatan mengajar. Tak disangka, terkumpul sekitar 500 buah buku bacaan dari para donatur dan aktivis literasi.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Meraih Satu Indonesia Award 2024 Bidang Pendidikan

Lewat buku, Diana mengajak anak-anak mengembara ke berbagai kota dan negara di luar Papua. Wawasan dan pengetahuan mereka kian bertambah.  Kegiatan membaca buku dan bercerita ini sangat disukai oleh anak-anak.

Setelah bisa menulis dan membaca, anak-anak mulai memiliki impian. Mereka ingin sukses dan maju seperti orang-orang di Pulau Jawa. Ada yang bercita-cita jadi suster, guru, dan profesi lainnya. Mereka juga ingin merasakan naik mobil dan pesawat terbang. Diana meyakinkan mereka kalau impian mereka tak muluk-muluk. Semuanya bisa tercapai asal mereka rajin belajar.

Diana bersyukur ketika ia terpilih menjadi penerima Apresiasi Satu Indonesia Award dari Astra di tahun 2023. Berkat apresiasi ini, ia menerima dukungan dan bantuan dari Astra untuk kegiatan belajar mengajar. Salah satunya, anak-anak bisa belajar mengakses internet dengan bantuan tablet yang ia terima dari Astra. Ya, tak terbayangkan akhirnya anak-anak pedalaman bisa belajar internet.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua
Belajar dengan peralatan elektronik

Target Diana selanjutnya adalah ia ingin anak-anak belajar dengan kurikulum yang sama dengan anak-anak sekolah dasar di kota besar. Agar anak-anak Atti memiliki wawasan dan pengetahuan lebih luas.

Saat Diana mulai mengajar di SDN Atti, muridnya berjumlah 65 orang. Pada tahun 2022, 24 anak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Juni tahun lalu, ada 14 anak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP. Tahun ini, ada empat anak menyusul lanjut SMP. Sungguh, Diana bersyukur menyaksikan perkembangan pesat anak-anak didiknya. Awal tahun 2024, SD Negeri Atti direnovasi sehingga semangat belajar anak-anak bertambah. Sungguh, tahun-tahun yang membahagiakan.

Papua Juga Indonesia, Pace

Harapan Diana, Pemerintah Indonesia memiliki program serupa Guru Penggerak Desa Terpencil yang berskala nasional. Program khusus bagi para sarjana untuk mengajar di daerah terpencil yang diprakarsai oleh Kemdikbud RI.

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua

Ia berharap pendidikan bisa menyentuh lebih banyak lagi anak-anak di Papua dan daerah terpencil lainnya. Ia ingin lebih banyak lagi guru yang mengajar di daerah terpencil di Papua dan berbagai provinsi di Indonesia.

Indonesia tak hanya Jawa, Kaka.

Papua juga bagian dari Indonesia.

Sungguh, ini keadaan darurat. 

Ibu Guru Diana dan Kisah Kaki Meja yang Patah di Pedalaman Papua

Pemberantasan buta huruf di pedalaman Papua harus segera dituntaskan.

Butuh keseriusan Pemerintah Republik Indonesia untuk aktif jemput bola agar manisnya pendidikan bisa dirasakan oleh anak-anak Indonesia secara merata.

Impian Diana sederhana. Ia ingin melihat anak-anak didiknya sukses meraih impian mereka.

Ia ingin anak-anak didiknya dengan lantang membaca buku untuk menghempaskan buta huruf selamanya dari pedalaman Papua. 

Sumber Foto: Diana Cristiana 

 

Dewi Rieka

Seorang penulis buku, blogger dan suka berbagi ilmu menulis di Ruang Aksara

17 Comments

  1. Duh, bergetar hatiku membaca kisah inspiratif bu guru yang niat tulus ikhlas mengajar para murid. Dimulai dari nol. Bahkan anak2 yang duduk di kelas 6 masih banyak yang belum bisa calistung. Naik perahu ketinting sebagai transportasinya ya dan belanja kebutuhan langsung untuk 6 bupan. Salut pada beliau. Role model kita semua 😍👍

    ReplyDelete
  2. Perjalanan yang seru dan sangat menginspirasi. Saya senang sekali dengan semangat yang tulus seperti ini

    ReplyDelete
  3. Nggak banyak orang seperti Bu Diana yang punya keluasan hati mau mengajar di tempat terpencil seperti di Papua. Salut banget sama beliau. Inspiratif banget

    ReplyDelete
  4. Perjuangan seorang guru yang tidak sia-sia. Membaca cerita bu Diana , saya jadi terharu. Semoga tetap semangat memajukan anak-anak di Papua sehinggs bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

    ReplyDelete
  5. Mantaaabbb, Indonesia bukan hanya Jawa, setujuuu banget!
    Alhamdulillah, bu guru terima apresiasi Satu Indonesia Award dari Astra di tahun 2023.

    Berkat apresiasi ini, juga menerima dukungan dan bantuan dari Astra untuk kegiatan belajar mengajar.
    Salah satunya, anak-anak bisa belajar mengakses internet dengan bantuan tablet yang ia terima dari Astra.

    Daebaakkk

    ReplyDelete
  6. Sumpah keren banget!! Zaman sekarang kayaknya udah one in million nemu guru yang berdedikasi tinggi kayak gini. Tapi aku percaya pasti masih banyak orang-orang seperti Diana tapi nggak 'kedengaran' aja kisahnya. Semoga pemerintah makin merata lagi ya dan emperhatikan kebutuhan anak-anak di pelosok tuh nggak bisa disamakan dengan anak-anak di kota besar.

    ReplyDelete
  7. Mbak Dedew maaap ya aku mapah ketawa pas baca frasa Son Goku mencari dragon ball.

    Para guru di ujung timur benar2 berjuang yaa apalagi di sana harga2 juga mahal sedangkan gajinya bisa jadi belum mencapai UMR. Tapi Diana bener2 bertekad untuk memajukan anak2 Papua.

    ReplyDelete
  8. Tulisan ini sungguh mengandung bawang yang amat kuat. Sukses membuat aku menangis sepanjang membaca. Menangis membayangkan kondisi anak di kampung Atti Papua dan takjub serta angkat topi sama Ibu Diana dengan segala ketulusan hati mengajar anak-anak disana.

    Bahkan untuk otw dan pulang sekolah pun jarak yang meteka lalui sangat amatlah berliku. Semoga saja anak-anak dengan semangat belajatnya mampu meraih kesuksesan dan membangun desa mereka menjadi desa yang lebih baik dalam semua hal.

    Terima kasih Ibu Diana atas pengabdian dan ketulusan nya dalam mengajar anak-anak.

    ReplyDelete
  9. Aku terharu membaca cerita Ibu Diana. MashaAllah sekali perjuangannya. Anak-anak didiknya pun semangat sekali untuk belajar. Bahkan mereka rela harus berjalan berkilo-kilo meter, di mana kondisi jalannya tidak akan semulus jalanan kota.
    Semoga sukses ya, Adik-adik. Teruslah semangatmu belajar. Akan ada banyak sekali tantangan dan kesempatan yang membawamu ke jalan kesuksesan.
    Mereka pasti juga bisa sukses.

    ReplyDelete
  10. Sedih nian aku membacanya mbak. Indonesia timur memang terasa sekali kesenjangannya, apalagi dari sisi pendidikannya. Miris kalau sampai anak-anaknya saja asing dengan negara dan juga lagu kebangsaannya sendiri.

    Semoga tenaga pendidik seperti kak Diana semakin banyak ya. Dan Papua kelak bisa setara kemajuannya dengan daerah lainnya

    ReplyDelete
  11. terharu baca ini mbaaaa...
    perjuangan guru dan murid sama2 beratnyaa...bener2 salut dengan para guru yang dengan senang hat ingin mengentaskan kebodohan di daerah terpencil...
    semoga semakin banyak diana-diana di luar sana yang ikut tergerak untuk mengajar di desa pedalaman, bersama-sama membawa Indonesia yang lebih cerdas

    ReplyDelete
  12. Salut Ibu Guru Diana semangatnya tinggi untuk mengajar di daerah terpencil di Papua sana. Sehat-sehat selalu Ibu Guru Diana dan semoga semakin banyak guru-guru yang berkesempatan mengajar seperti beliau

    ReplyDelete
  13. Akan selalu ada mutiara di antara kita dan salah satunya ibu Diana ini. Yang ia lakukan benar2 pengabdian yang tulus agar anak2 Papua dapat memperoleh pendidikan untuk masa depan yang lebih baik. Salut banget.

    ReplyDelete
  14. Terima kasih tertinggi untuk bu Diana yang sudah sabar, kuat dan penuh kasih mendidik mereka, segala yang baik kiranya mengiri beliau dan kemudahan bisa menjadikan anak didiknya kelak menjadi orang besar. #amin

    ReplyDelete
  15. Ya Allah..
    Perjalanan mba Diana yg mba Dewi tuangkan di artikel ini sungguh membuka mata saya.
    Auto berdoa : semoga pemerintah Indonesia dibukakan mata hatinya, agar bisa melirik-memikirkan-berikan kebijakan memajukan pendidikan di daerah tertinggal, ketimbang berfoya-foya atas nama ibu kota baru.
    Thanks for sharing mba Dewi..

    ReplyDelete
  16. Sungguh hebatlah perjuangan ibu Diana ini mengajar ke berbagai daerah yang terpencil, karena beliau bisa mengajar dengan sepenuh hati walaupun banyak rintangan menghadang karena yang terpenting adalah pendidikan anak-anak dan berbagai daerah untuk memajukan mereka di masa yang akan datang

    ReplyDelete
  17. Wah, keren sekali ini Bu Diana. Anak muda yang sungguh memberikan hatinya untuk peningkatan kualitas anak-anak Papua. Padahal untuk anak muda, di usia segitu biasanya pada mengejar karir yang orientasinya materi. Bu Diana beda. Pantas banget deh kalo beliau dikasih penghargaan. Semoga banyak yang terinspirasi dengan dedikasi Bu Diana ini. :)

    ReplyDelete
Previous Post Next Post