Dear Temans,
Alhamdulillah, akhirnya bisa posting blog juga hehe.
Bulan Februari dan Maret disibukkan dengan berbagi tentang penulisan cerpen ke sekolah-sekolah di Semarang bersama Faber Castell dan Tulisen.com. Semoga bermanfaat bagi adik-adik kita dan bisa menginspirasi mereka untuk menulis ya, aamiin. Di postingan lalu, dakuw sempat menulis hepinya kopdar bersama Eyang NH. Dini.
Tim Hore dari IIDN Semarang hihihi |
Karena selain datang hanya empat tahun sekali, tanggal 29 Februari tahun ini adalah ulang tahun ke-80 Eyang NH. Dini, Sastrawati legendaris Indonesia asal Semarang. Eyang Dini, begitu kami memanggilnya, telah berkarya sejak SMP. Hm, kalau dihitung-hitung, beliau telah berkarya selama 65 tahun! Masya Allah! Jadi, dakuw agak sedih ketika berkeliling ke sekolah-sekolah dan mendapati anak-anak banyak yang tidak tahu beliau. Hiks.
Ya, setiap acara workshop, dakuw selalu memperkenalkan beliau sebagai penulis legend yang telah berusia lanjut usia tetapi tetap berkarya dan tidak pikun, semua itu karena Eyang tetap menulis dan mengasah otaknya. Subhanallah.
bersama Pak Ahmad Tohari |
Ternyata pas tanggal itu, dakuw harus mengisi kelas cerpen di dua sekolah di Gunung Pati, Semarang. Sempat mengatur rencana untuk naik Gojek setelah mengajar kelas pertama dan mencari guru pengganti untuk kelas berikutnya juga gagal. Hiks, pilu deh hatiku. Gagal menghadiri acara syukuran beliau.
Dua hari sebelum acara, Winda Oetomo mencolekku. Arsitek kece itu mengajakku untuk menghadiri acara Sedekah Budaya dalam rangka syukuran Ultah ke-80 Eyang juga. Tempatnya pun sama di Vina House tetapi diadakan Hari Minggu tanggal 28 Februari. Horee, mau, mau!
Sore-sore, setelah mendapat restu Pak Bagus, akhirnya kami meluncur ke bawah.
Ups, ada kecelakaan, truk terguling di Gombel. Antrian kendaraan mengular. Waktu yang dibutuhkan untulk melalui Gombel 45 menit, saudara-saudara! Kami sudah deg-degan karena khawatir, Eyang kan orangnya tepat waktu. Kami takut dimarahi hehe. Alhamdulillah, pas kami sampai, yang lain ngaret, wkwkwk. Kami bisa maghriban dan bernapas dulu.
Pak Ahmad Tohari berbagi cerita tentang buku-bukunya |
Tak lama, tamu undangan berdatangan.
Eyang Dini belum kelihatan. Telah hadir penulis Demak yang selalu on fire dan produktif, Mbak Dian Nafi.
Ada sahabat-sahabat Eyang, Ibu Sulis pemilik hotel Ungaran Cantik dan lainnya berkumpul. Termasuk Dokter cantik Ibu Bulan Trisna yang jago menari. Hadir juga Mas Agus Surawan, Ketua Komunitas Penulis Ambarawa. Juga Pak Handry TM, penulis Kancing Yang Terlepas asal Semarang.
Ternyata, acara Sedekah Budaya ini tak hanya diisi oleh Eyang tapi juga hadir Pak Taufik Ismail dan Pak Ahmad Tohari, Temans! Gyaaa! Ya, ternyata Pak Taufik jauh-jauh datang dari Jakarta demi menghadiri syukuran Eyang. Penyair dan sastrawan hebat ini pernah dakuw temui sebelumnya, tahun 2006 silam. Bahagia melihat beliau dalam keadaan sehat walafiat. Pak Taufik yang berasal dari Bukit Tinggi ini dikategorikan sebagai penyair angkatan 66 dan telah menulis beberapa buku puisi diantaranya Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Winda bersama Pak Taufik Ismail |
Kami bertiga, trio hore-hore langsung mendekati beliau dan mengajaknya foto bersama.
Tak disangka, Pak Ahmad Tohari penulis Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari ini begitu ramah melayani permintaan kami. Winda mengeluarkan koleksi novel beliau untuk ditandatangan. Waaa, komplet! Huhuhu ngiriii.
bersama Pak Taufik Ismail semoga ketularan kerennya aamiin |
Ternyata Winda juga menggemari buku-buku Pak Ahmad Tohari dan segera mereka asyik berdiskusi. Beliau menceritakan bahwa urutan terbt bukunya ternyata tidak sesuai urutan penulisannya. Jadi ada novel yang ditulis belakangan malah terbit duluan. Pak Taufik dan Pak Ahmad Tohari malah saling melempar candaan, "Sudah ada buku baru lagi belum kau?" Subhanallah!
Tak lama kemudian, Eyang NH. Dini tiba di TKP.
Bu Sulis yang menjadi tuan rumah malam itu mengajak kami menyantap hidangan dinner sederhana yaitu rawon dan lontong opor. Sederhana tapi nikmat. Tak lama kemudian, acara Sedekah Budaya pun dimulai. Acara diawali dengan musikalisasi puisi serta pembacaan petikan novel Tirai Menurun karya Eyang yang berlatar perkumpulan wayang wong di Semarang. Alhamdulillah, aku baru saja menamatkan buku Eyang yang terbit pertama kali tahun 1993.
Moderator malam itu adalah Pak Goenawan Permadi, Pemred Wawasan.
Eyang Dini tak menampik kalau ia adalah seorang feminis. Tapi, menurutnya, ia hanya menangkap apa saja yang ia amati di seklilingnya, berbagai ketidak adilan yang dialami perempuan dan menuangkannya lewat tulisan. Karena itu, beliau tak mau disebut pengarang, karena apa yang ditulisnya adalah kenyataan, fenomena yang terjadi di masyarakat. Hanya dituliskan dalam bentuk fiksi.
Eyang Dini bersama sahabat-sahabat akrabnya |
Menurut Eyang, Ia dianugerahi Tuhan ingatan fotografis sehingga bisa mengingat dengan detil peristiwa yang ada walau telah lama berlalu. Eyang tak hanya menulis kisah hidupnya yang dibukukan dalam seri Cerita Kenangan atau disebutnya novel otobiografis, beliau juga menulis sejumlah novel yang berdasarkan kisah hidup orang-orang yang ditemuinya selama perjalanan hidupnya. Seperti novel Keberangkatan, tentang pramugari GIA yang berdarah Indo-Belanda, dan memilih meninggalkan Indonesia karena dikecewakan tunangannya yang berdasrah jawa, adalah kisah hidup sahabatnya.
Masih cerita Eyang pula, ketika menulis cerpen, juga berdasarkan kisah nyata, sehingga kalau tulisannya dimuat di media dan ia bertemu si tokoh, maka ia memberikan 10% honor cerpen itu kepada si tokoh hehe. Di acara ini pula, hadir Ibu Dokter Bulan Tresna, sahabat Eyang dan kerap hadir dalam buku-buku Eyang. Beliau nampak ayu dan anggun di usia senja.
Bincang Proses Kreatif NH Dini |
Sedangkan soal proses kreatif, Eyang sempat bercerita kalau ia rajin mendokumentasikan ide dan pengalaman hidupnya lewat diary, ini yang jadi bahan tulisan. Eyang juga rutin menulis dua jam setiap hari hingga saat ini, karena kalau lebih dari itu, vertigonya bisa kambuh. Subhanallah, pantas Eyang begitu produktif. Jadi maluuuu...
Dokter Bulan menceritakan pengalamannya jadi bumbu-bumbu cerita Eyang |
Tags:
Liputan
Wah, asyiknya... aku juga mau tuh diajak hehehe.. suka banget sama karya2nya Eyang NH Dini
ReplyDeleteBahagianya bisa bertemu dengan penulis-penulis legendaris ya mb Dew...
ReplyDeleteKerenlah bisa ketemu senior di bidang kepenulisan, seru banget pastinya
ReplyDeletewua senengnya ketemu pak Taufik Ismail. aku ngefans banget ama beliau
ReplyDeleteMupeng, kapan yo aku isa ikutan Teh :D
ReplyDeletepadahal ya Kaliwungu mayan deket. Tapi males ngangkote, Teh :D
Legend itu slu menginspirasi.
Wah NH Dini favoritku sejak SD :D
ReplyDeleteSeneng ya mbak bisa ketemu tiga penulis kawakan sekaligus. Pasti banyak yg bisa dipelajari dr mereka :D
Wah... senangnya bisa ketemu dengan masetro sastra yg hebat di negeri ini.. Special moment tentunya ya Mba..
ReplyDeleteNH Dini, namanya aku kenal sejak SD, hihihi. Penulis keren. Wah senang sekali pastinya bertemu beliau
ReplyDeleteSaat masih di Semarang, pengen ketemu NH Dini, tapi nggak tau rumahnya dan nggak ada yg ngajak hehehe. Skrg udah nggak di Semarang.. kesempatan itu makin kecil :(
ReplyDeletewah, serunya Mb
ReplyDeleteMbak Dew, kalo nanti atau kapanpun ada acara-acara temu Nh Dini tolong aku dikabari ya. Aku pengen banget ketemu beliau. :)
ReplyDelete