Azka memukul setir Hyundai-nya
kesal.
Lelah ia lama-lama. ia melirik jam
tangannya. Pukul 22.00. dimana dia? Ia menggeleng. Tak sepenuhnya sadar ia
mengendarai mobilnya hingga Ungaran, 30-an km dari rumahnya. Seperti judul novel
Susanna Tamaro kesukaannya.
Pergilah
Kemana Hati Membawamu.
Hm. Dan kenangan membawanya ke kota
kecil ini.
Sitta.
Ketika
jalanmu bercabang kau berpapasan dengan kehidupan lainnya. Berkenalan atau
tidak dengan mereka, terlibat dengan mereka atau membiarkan mereka lewat begitu
saja, semua itu tergantung semata-mata pada keputusan sesaat. Meskipun mungkin
kau tidak mengetahuinya, hidupmu dan hidup orang-orang yang dekat denganmu
dipertaruhkan saat kau memilih untuk berjalan lurus atau berbelok.
Ahhhh! Kenapa disaat seperti ini
otaknya malah memikirkan gadis Hulk itu?
Ia terlalu banyak berpikir hingga
kepalanya nyeri. Ia teringat kerjaan kantor yang ia tinggalkan begitu saja. Big
boss pasti mengamuk nih. Tiara dan Rio pasti kebingungan mencarinya. Ah, kantor
yang sadis kenapa tak ada libur ini kan mau tahun baru, orang-orang sibuk
bersiap-siap merayakan pergantian tahun.
Kota kecil yang tak jauh dari
Semarang ini nampak hidup. Alun-alun mini Ungaran mulai dipenuhi pengunjung.
Ada band lokal yang manggung disana.
Disana-sini nampak raut bahagia
pasangan dan keluarga melewatinya. Walau
tak merayakan tahun baru, banyak juga yang menikmati liburan akhir tahun.
Jalanan padat. Ia bersandar di jok dengan letih. Minuman berkafein yang
menemaninya nyaris tandas. Perutnya perih. Ia belum makan sejak siang tadi.
Ia teringat pertengkaran tadi
siang.
Dengan Nada, tentu saja kisah
klasik. Ia tak menuruti maunya, dan ngambeklah ia.
Gadis imut itu meminta dijemput di
kosnya di Yogya. Ya, setiap weekend, biasanya tugas Azka jadi supir pribadi
kekasihnya itu. Menjemput di kos dan minggu sore, mengantarnya kembali di kos.
Selama ini, Azka tak keberatan. Toh
Semarang-Yogya hanya 3 jam. Ya, bisa molor sih macet setengah edan di Ambarawa
setiap weekend. Bikin encok punggung dan pegal kakinya.
Tapi, itu tak menyurutkan semangat
Azka menyupir. Ia sering dibilang edan dan mabok oleh teman-teman sekantornya.
Ya iyalah, ia bekerja di kantor periklanan dengan ritme gila-gilaan. Kadang
lembur hingga dini hari. Dan pada sabtu pagi, hari libur sedunia, mau-maunya ia
bangun pagi buta demi menjemput seorang cewek belia?
“Dasar lu dipelet, Ka!” ledek Rio.
Saat itu, menolak ikut merayakan keberhasilan proyek mereka di sebuah kafe hip
di Semarang. Ya, gimana dong? Besok pagi
ia kudu menjemput Tuan Putri? Nanti kesiangan?
“Iyaa..dia mah dikerjain sama anak
ingusan!” ledek Tiara.
Muka Azka merah padam. Mau marah,
tapi yang meledeknya adalah Tiara, sahabatnya sepanjang masa.
“Kakak..kakak..belikan es kirm
dong,” Tiara menirukan suara Nada yang manja."Kalau tak dibelikan, kita putus saja!"
Rio ngakak di mejanya.
“Biarin, namanya juga kekasih
hati..kalian tuuh..masa dari zaman kuliah, teteuup saja pacaran sama guling?”
ledek Azka. “Sekalian jadian napa?”
Tiara dan Rio berpandangan, lalu
terbahak.
“Mending jomblo gua mah, daripada
kayak lu, Ka! Jobside supir pribadi gretongan!” ejek Rio memegang perutnya
geli.
“Nggaklaah..hadiahnya pelukan
mesra dan kecupan di pipi!”
Shit! Rutuk Azka dalam hati. Ia kalah telak.
Memang sih, terkadang Nada kelewat
manja. Seperti hari ini, Azka kudu lembur di kantor karena ada detlen
pekerjaan. Dan ia tidak bisa menjemput kekasihnya itu. Azka menyuruh Nada
pulang naik mobil travel saja. Dan, sudah bisa ditebak. Nada ngambek. Ia
membanting telepon saat Azka sedang bicara padanya.
“Mas Azka memang egois. Mas kan
sudah janji mau menjemput adik. Barang bawaan adik, titipan Karina dari
beringharjo kan banyak. Gimana bawanya naik travel?”
“Lho, bukannya egois. Tapi, kan Mas
ada kerjaan mendadak. Masa harus ditinggal? Adik senang kalau Mas dipecat ya?
Ngapain kamu bawain Karina segala gembolan itu? Mo kulakan? Dikirim saja pakai
JNE. Nanti Mas bayar.”
“Mas nyebelin!” jeritnya lalu
membanting ponselnya. “Bentar lagi kan ultah adik! Mas pasti lupa ya? Gara-gara
kerja melulu!”
Sialan, nggak sopan banget sih.
Susah memang pacaran dengan bayi. Sedikit-sedikit ngambek, merajuk, marah. Ya,
usia Nada dan Azka memang lumayan jauh. Enam tahun. Kini Azka berusia 25 tahun.
Nada baru semester tiga. Tapi, ia
susah mau marah sama si centil itu. Anaknya cantik dan lembut. Pintar banget
menyenangkan hati Azka dengan tingkahnya. Kecuali kalau sedang ngambek atau
PMS. Ih, Azka bête banget.
Nada itu sahabat Karina, adik
semata wayangnya. Mereka sobatan sejak SMP. Jadi, ia sudah terbiasa dengan
kehadiran si centil itu dalam hidupnya. Nada dan Karina sering pesta piyama dan
menginap di rumah. Dulu, ia malah menganggap cewek itu gadis ingunsan dan
manja, bawel seperti Karina adiknya.
Baru saat ini saja, ia menyukainya.
Itupun karena Karina gencar menjodohkannya dengan sahabatnya. Karina punya misi
ingin menjadikan Nada saudaranya. Jadi, ia sudah menentukan siapa jodoh Azka
kelak, harus seseorang yang bermata jeli dan berhidung bangir itu, si Nada.
Usaha Karina nggak
tanggung-tanggung. Ia keukeuh diantar kemana-mana oleh Azka, dengan mengajak
Nada. Mulai dari berenang, shopping, nonton, hingga kajian di sekolah. Tadinya,
Azka ogah. Ngapain ikut-ikutan ABG kemana-mana? Tapi, mamanya memaksa.
“Kamu kan kakaknya. Masa menemani
adik ke mal saja nggak mau?” tegur Mama.
“iya, kan sekalian kamu jadi
bodyguard dua cewek imut. Nada kan lucu,” goda Papa senyum-senyum.
Duh, Papa ikut-ikutan.
Aduh, jadilah ia bodyguard dua
cewek centil dan berisik itu. Dan, mission
impossible Karina yang terkenal
bertekad kuat pun terwujud. Ia berhasil membuat Nada dan Azka jadian. Itu
setahun lalu. Akhir tahun. Beberapa hari sebelum ultah Nada yang ke-18 di bulan
Januari.
“Ah, dasar cowok labl!” ledek Tiara,
menjerit dan memukuli bahu Azka.“Luluh dia! Katanya nggak mau sama cewek ingusan! Huuh!”
“Yah, kayak nggak tahu Azka playboy
cap kuda saja. Ada cewek manis wara-wiri di depannya pakai gaun unyu ya
langsung fall in love lah Tiara. Walaupun ia bisa dituntut karena kasus pedofilia dengan saksi Kak
Seto,” ledek Rio ngakak puas banget.
Keduanya memang teman sekampus
dengan Azka dan kini bekerja di biro iklan yang sama di Semarang.
“Asyem ik! Kalian sendiri yang
menyuruhku move on! Giliran aku jadian, kalian malah meledek. Ah, payah!"
Tiara dan Rio berpandangan lalu
saling meleletkan lidah. “Gimana ya! Soalnya kaka Azka unyu siih!”
“Yang childish itu sebenarnya siapa?” desah Azka menepuk jidatnya.
Sejak itu, Ia sukses jadi
bulan-bulanan Tiara dan Rio. Asyeeeem!
***
Fiuh.
Nada memang terlalu. Kenapa sih
kalau ia naik travel bus? Toh tidak sering-sering. Memangnya menderita banget ya
naik travel bus itu? Gerutunya.
Ponselnya berbunyi. Ia melirik
layarnya. Mama menelpon. Beliau pasti khawatir. Jam segini, Azka belum sampai
di rumah. Menelpon atau SMS saja tidak. Biasanya, ia laporan apapun pada Mama.
Ya, Mama. Semalam ia juga sempat
berdebat dengan Mama. Gara-gara, hadiah ultah Nada. Karina mengusulkan Azka
memberi Nada kado cincin emas. Karena terlalu lebay menurut Azka, ya, seperti
cowok mau melamar saja. Ia lalu membelikan Nada kalung emas berbandul hati yang
mungil.
Ia dan Karina yang memilihnya di
Paragon. Dan..si bawel Karina ternyata keceplosan cerita pada Mama. Dan perempuan
tersayangnya itu menegur Azka sebelum ia berangkat ke kantor.
“Mama tahu kamu cinta Nada, Azka. dan
kamu serius dengan dia. Tapi, memberi perhiasan ke perempuan yang belum ada
ikatan itu mama rasa kurang elok ya. Nanti saja, kalau kamu melamar dia.”
Azka menggeleng. “Mama, itu kan
hanya kalung biasa. Bukan perhiasan untuk mengikat janji..Nada ultah dan
Karina..”
“Iya, pasti kelakuan adikmu lagi. Selalu
jadi kompor. Mama kurang setuju nak. Apalagi, Nada masih terlalu muda. Masih
kekanakan. Mama kok melihat kalian kurang cocok..”
Itu lagi. Capek Azka membahasnya.
Kenapa Mama tidak kunjung setuju dengan Nada? Padahal, Mama mengenal kekasihnya
itu luar dalam. Ia seperti anak sendiri. Azka mencintainya, kenapa Mama tidak
rela?
“Ma, Azka itu cinta sama Nada.
Salah kalau Azka pengen kasih hadiah yang berharga buat dia?”
Mama menggangguk. “Iya, Mama tahu.
Tapi, belum waktunya, Nak. Setelah kamu menjadi suaminya, kamu bisa memberinya
apa saja. Malah wajib, tugas kamu sebagai seorang suami.”
Azka mengeluarkan kado mungil itu
dari sakunya. Dan meletakkanya di tempat tidur orangtuanya.
“Terserah Mama saja. Nanti Azka
cari kado lain. Tapi Ma..Azka ingin Mama merestui dan menerima Nada. Walau
manja dan bawel, Azka cinta. Azka tahu Mama masih rindu sosok..”
Mama menghela napas. “Nggak
kok..Mama hanya..”
“Dia yang meninggalkan Azka,
Ma..jadi jangan mengharapkan dia lagi. Azka sakit hati. Dia cerita lama. nada
itu masa depan Azka.”
Mama mengangguk. Bermaksud
menggenggam tangan Azka. Tapi Azka malah berbalik dan meninggalkan kamar luas
itu.
Ah, Sitta. Bahkan menyebutnya pun
Azka enggan. Hatinya mendadak ngilu. Nyaris tiga tahun berlalu. Tapi hatinya
masih terasa nyeri.
***
Sitta.
Dengan nama satu-satunyalah itulah,
Azka belum move on.
Ya, Sitta itu soulmate Azka. Dulu.
Sebelum jadian, mereka adalah
sahabat kental.
Ia beda 180 derajat dengan Nada.
Dari penampilan, mereka sudah berbeda. Nada mungil dan langsing sedangkan Sitta
tinggi dan atletis. Bukan, Sitta bukan pekerja bangunan. Ia hobi panjat
dinding. Mungkin bercita-cita jadi spiderman waktu kecil. Kelayapan pakai
tali. Murmer nggak pakai ongkos taksi.
Kalau Nada lembut dan centil, Sitta
itu nggak ada manis-manisnya. Omongannya tegas dan langsung tepat sasaran.
Kadang nyelekit. Rio tuh sering banget berantem dengan Sitta. Satunya tukang
meledek, satu lagi agak kaku. Cucoklah. Ya, mereka berempat teman segeng di
kampus DKV.
Gara-gara sering sekelompok waktu
ada tugas, lembur bareng di rumah Azka atau Tiara, mereka jadi soulmate.
Padahal, karakternya beda-beda. Karena sering mengobrol pula, ia merasa klik
dengan Sitta. Sitta yang sering mengingatkannya agar tidak sembrono, malas
makan atau mengerjakan tugas mendekati deadline.
“Jadi contoh adikmu dong, Az. Masa
IPK secuil? Maluu..”
“Kamu kayak nenekku aja!”
“Ih. Biarin. Abisnya kamu susah
dibilangin..”
“Tapi..”
Sitta menjitaknya. Lalu tersenyum.
Tumben, lembut dan manis sekali.
Hati Azka menghangat.
Dan, tak lama kemudian, mereka
jadian.
Selama nyaris dua tahun mereka tak
terpisahkan.
Mama dan Sitta jadi sahabat kompak.
Sepertinya, Mama malah lebih sayang Sitta daripada anaknya sendiri. Mama lebih
membela cewek Hulk itu, hehe. Itu panggilan sayang Azka pada Sitta. Habis, dia
lebih macho sih? Gimana dong?
Walau sebaya, Sitta lebih dewasa daripada Azka dan teman-teman lainnya. Ia ringan tangan membantu siapapun. Terutama menyediakan kuping untuk mendengarkan curhat sahabat-sahabatnya. Kadang memberikan solusi, tapi lebih banyak memberikan pelukan dan kenyamanan.
Sitta sering diledek Tiara kalau salah jurusan masuk DKV karena kesukaannya mendengarkan curhat orang alias jadi tong sampah itu. Mestinya, ia masuk jurusan Psikologi, jadi bisa dicurhatin orang terus dibayar, hehe. Atau jadi penulis novel, atau skenario. Dicurhati orang lalu ia tulis. jadi deh duit. Dasar Tiara, cewek matre eh cewek rasional menurut Tiara sendiri siih.
Sitta bijaksana. Walau terkadang terlalu tegas. Apalagi menghadapi banyolan Rio. Ia sering memarahi Rio.
Saking tidak akurnya mereka berdua, Rio pernah mengoleskan lem super ke tali tambang untuk memanjat Sitta. Gila, gadis itu tergantung-gantung tidak bisa bergerak di tengah dinding! Dasar Rio usil! Sitta marah besar. Tinggallah Azka dan Tiara yang bingung menghadapi perang dingin diantara keduanya. Mau membela siapa? Untunglah, permusuhan itu cair tak lama kemudian. Keduanya tak bisa berantem lama-lama.
"Mestinya Rio dan Sitta yang jadian," celetuk Tiara geli.
Sitta bergidik. "Bisa-bisa kami saling bunuh,"
Azka ngakak. "Iya, lagipula, kamu bisa patah hati, Tiara. Kalau Rio sampai berpaling ke cewek lain."
Tiara mendengus. Dan kalau tak salah lihat, pipinya merona.
Uhuk. Uhuk.
Dan..ketika Azka dan Sitta akan merayakan anniversary dua tahun, mendadak Sitta memutuskannya. Tiada angin atau hujan, mendadak kayak kena stroke. Ia juga berhenti kuliah. Padahal mereka semester enam. Kata Sitta, ia ikut pindah dengan keluarganya ke Kuala Lumpur. Ia anak tunggal dan tak mau berpisah dengan orangtuanya.
Sitta sering diledek Tiara kalau salah jurusan masuk DKV karena kesukaannya mendengarkan curhat orang alias jadi tong sampah itu. Mestinya, ia masuk jurusan Psikologi, jadi bisa dicurhatin orang terus dibayar, hehe. Atau jadi penulis novel, atau skenario. Dicurhati orang lalu ia tulis. jadi deh duit. Dasar Tiara, cewek matre eh cewek rasional menurut Tiara sendiri siih.
Sitta bijaksana. Walau terkadang terlalu tegas. Apalagi menghadapi banyolan Rio. Ia sering memarahi Rio.
Saking tidak akurnya mereka berdua, Rio pernah mengoleskan lem super ke tali tambang untuk memanjat Sitta. Gila, gadis itu tergantung-gantung tidak bisa bergerak di tengah dinding! Dasar Rio usil! Sitta marah besar. Tinggallah Azka dan Tiara yang bingung menghadapi perang dingin diantara keduanya. Mau membela siapa? Untunglah, permusuhan itu cair tak lama kemudian. Keduanya tak bisa berantem lama-lama.
"Mestinya Rio dan Sitta yang jadian," celetuk Tiara geli.
Sitta bergidik. "Bisa-bisa kami saling bunuh,"
Azka ngakak. "Iya, lagipula, kamu bisa patah hati, Tiara. Kalau Rio sampai berpaling ke cewek lain."
Tiara mendengus. Dan kalau tak salah lihat, pipinya merona.
Uhuk. Uhuk.
Dan..ketika Azka dan Sitta akan merayakan anniversary dua tahun, mendadak Sitta memutuskannya. Tiada angin atau hujan, mendadak kayak kena stroke. Ia juga berhenti kuliah. Padahal mereka semester enam. Kata Sitta, ia ikut pindah dengan keluarganya ke Kuala Lumpur. Ia anak tunggal dan tak mau berpisah dengan orangtuanya.
“Tapi,
kenapa mesti pindah, Sitta? Kuliahmu sayang ditinggal. Kamu bisa menyusul
orangtuamu setelah lulus.”
Sitta
menggeleng kaku. “Aku sudah janji akan ikut, Azka.”
“Tapi..gimana
dengan aku? Mengapa mendadak sekali? Ada apa sebenarnya, cerita padaku..” bisik
Azka membelai kepala Sitta.
Sitta
mengibaskan tangan Azka. “Aku rasa..kita sudah selesai, Azka.”
“Ada
apa? Apa salahku?” tanya Azka panic. Berulang-ulang seperti kaset rusak.
Ia menggeleng.
“Aku bosan. Aku butuh suasana baru. Semua ini terlalu menyesakkan buatku.” Katanya
ringan.
Serasa
jantung Azka berhenti.
Kata
orang-orang, ia labil. Mudah terpengaruh. Mudah berubah. Itu juga kata Sitta
tentang dirinya.
“Aku
sayang kamu, cinta kamu.” Katanya suatu waktu.
“Alah.
Kamu itu kan gampang berubah, darling.
Kalau ada cewek manis, pasti kamu lupa deh sama aku,” balas Sitta kalem.
Dan
Sitta salah. Orang-orang salah.
Tentang
Sitta, ia tak pernah berubah. Bahkan hingga kini. Nyaris tiga tahun berlalu. Desember
ketika Sitta memutuskannya. Desember ketika ia jadian dengan Nada. Dan Desember
ini.
Hati
Azka tetap sama. Hanya mengalun lagu tentang seorang Sitta.
Rindu
yang berlumur benci dan tak mengerti.
“Mungkin ia dijodohkan ya, Azka?”
tanya Tiara menerawang. Bahkan ia yang sahabat terdekat Sitta pun tak mengerti.
Tak diberitahu.
Azka menggeleng. Rio yang biasanya
heboh pun terdiam.
Mereka bertiga duduk di dalam mobil
Azka di tepi Alun-Alun Mini Ungaran yang sepi. Tak ada lagi penjaja kaki lima. Mereka
bertiga bengong. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Biasanya, mereka
nongkrong berempat selesai bikin tugas di alun-alun ini.
Menyeruput kopi Pak Hik yang legendaris.
Yang antriannya mengalahkan Starbucks.
“Cewek tegaaa!” teriak Azka keluar
dari mobil.
Buru-buru Rio dan Tiara keluar
meringkus Azka sebelum hansip menangkapnya karena mengganggu keteritban umum.
“Sabar ya Azka…” bisik Tiara iba.
Rio menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
***
I know youre somewhere out there
Somewhere far away
I want you back
I want you back
My neighbours think I’m crazy
But they don’t understand
you’re all I have
You’re all I have…(Bruno Mars)
Azka
memarkir mobilnya di depan sebuah minimarket. Ia berjalan perlahan menuju
keramaian Alun-Alun Mini menyambut pergantian tahun. Seorang vokalis berambut cepak menyanyikan lagi Somewhere Out
There-nya Bruno Mars. Salah satu lagu dalam Azka's playlist super galau songs ketika mengenang Sitta. Ia menyeret kakinya
menuju pedagang makanan kaki lima.
Sebuah
gerobak roti maryam menarik perhatiannya. Sitta suka sekali makanan itu. Ia bahkan
jago membuatnya. Azka mendekatinya. Antrian roti maryam nya cukup panjang. Ternyata,
gerobak itu tak hanya menjulal roti tapi juga pizza mini dan pancake. Ada pula
berbagai kopi, sus dan jus buah. Selembar tikar menjadi tempat nongkrong
anak-anak muda.
Ia duduk
di tepian dan menerima daftar menu yang disodorkan seorang pelayan.
“Mau
pesan apa, Mas?”
“Apa?”
teriak Azka. Ingar-bingar musik menulikan telinganya. Mbak pelayannya membisu.
Ia mendongak.
Pelayan itu menatapnya dengan wajah pasi.
“Sitta!”
Gadis
itu melarikan diri. Meliuk-liuk lincah ditengah kerumunan orang. Azka mengejarnya.
“Sittaaa!”
“Pergi!”
teriak gadis itu. “Jangan dekati aku!”
“Sitta,
jangan begitu. Kenapa kamu bisa ada disini?” Azka mengatur napasnya yang
tersengal. Ia berhasil memegang lengan gadis itu.
Sitta
menurut ketika Azka menggandeng lengannya, menyibak kerumunan penonton alun-alun dan
mengajaknya ke mobilnya.
Seperti
waktu yang lampau. Mereka berdua. Keheningan yang menyiksa tercipta ketika
keduanya duduk di dalam mobil.
“Ada
apa sebenarnya, Sitta? Kenapa kamu bisa disini? Jadi pelayan?’
Sitta
terisak. Mengeelng. “Please, jangan tanya aku. Aku pergi saja ya?”
Azka
menekan tombol kunci pintu.
“Tidak
bisa. Kau berutang penjelasan padaku, Sitta.” Katanya dingin.
“Nggak
ada yang perlu dijelaskan, Azka. Semua sudah terjadi. Kita sudah jalan masing-masing.”
“Jujur
padaku. Walau kita bukan lagi kekasih, setidaknya kau tetap sahabatku, Sitta. Seperti
Rio dan Tiara. Kau juga berutang penjelasan pada keduanya. Kau telah
mengecewakan kami.”
Sitta
menggeleng. Kulitnya yang mulus kini sedikit legam.
“Aku
malu pada kalian..”
“Katakan
ada apa..”
Sitta
menatap matanya. “Papaku bangkrut, Azka. Utangnya umpuk. Semua asset perusahaannya disita bank dan dilelang. Tak
bersisa. Tak ada uang untuk kuliah dan sialnya, beasiswaku dicabut. Kami pindah ke
Ungaran, menumpang di rumah Pakde. Sedikit modal kupakai untuk buka usaha roti
ini setiap malam berjualan bersama Papa.”
Azka
terbelalak.
“Kenapa
kau tega tak cerita padaku?”
Sitta
menunduk. “Aku tak mampu, Azka. Aku tahu kau takkan berubah. Kau pasti tak
berpaling. Tapi, aku tak sanggup menerima bantuanmu, bantuan keluargamu. Mama
papamu.”
“Katanya
kita soulmate. Tapi masalah sebesar
ini kau malah berpaling..”
“Maafkan
aku..aku bodoh. Selalu menganggapmu childish,
emosian tapi aku lebih parah, nggak berani menghadapi kenyataan..”
Azka
termangu.
“Aku
berusaha kembali kuliah, Azka. Aku berusaha mencari beasiswa lagi. Aku takkan
kalah dari kalian..”
“Aku
selalu mencintaimu, Sitta. Walau kau menyakitiku. Walau kau melupakanku..”
Sitta
mengangkat wajahnya. Pasi.
“Kembalilah
padaku, Sitta. Aku akan menjagamu, selalu..”
“Tapi..tapi..”
“Tak
ada tapi..” tukas Azka tegas.
Sitta
tersenyum. Mengangguk pelan.
3..2..1..Happy
New Year!
Terompet
menggema memekakkan telinga. Suara petasan bersahutan. Dentuman kembang api
menyalakan angkasa.
Azka
tersenyum membelai kepala Sitta.
Tak ada lagi siluet Nada.
Hanya lega dan bahagia merajai hatinya...
Hanya lega dan bahagia merajai hatinya...
Tags:
my writing project
Happy New Year mbak
ReplyDelete